Sunday, September 16, 2007

Tatto Tradisi Dayak Jadi Tren Kaum Muda

Seni rajah tubuh atau Tattoo tradisional bermotif khas di kalangan suku Dayak Aoheng—juga sering disebut Dayak Penihing—yang berada di hulu Sungai Mahakam kini mulai menunjukkan era kebangkitan. Para pemuda di Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, kini lebih membanggakan Tattoo khas Dayak sebagai tren model daripada Tattoo motif modern.

Tim Ekspedisi Lintas Barito- Muller-Mahakam pekan lalu menelusuri fenomena kebangkitan Tattoo Dayak di desa-desa yang ada di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim). Penelusuran dimulai dari Penyinggahan Penyungkat di hulu Sungai Sebunut hingga ke hilir tepatnya di daerah Long Bagun di tepi Sungai Mahakam.

Kecamatan Long Bagun merupakan terminal air paling hulu dan paling ramai yang dikunjungi warga dari berbagai aliran sungai. Long Bagun juga menjadi pusat transit dan pusat perdagangan bagi warga hulu Sungai Mahakam. Daerah tersebut menjadi pemberhentian terakhir kapal-kapal besar atau biasa disebut taksi Mahakam.

Hampir setiap sopir taksi air yang dijumpai selalu memiliki tattoo di bagian tubuhnya. Hal yang menarik, Tattoo-Tattoo tersebut tidak lagi bermotif modern, melainkan bermotif tradisional. Fenomena itu menarik perhatian dua orang antropolog yang menyertai tim ekspedisi. Laurensius Ding Lie (40), yang menyebut dirinya pembuat Art Tattooo Dayak di Kampung Long Bagun Ilir, mengatakan, hampir semua pemuda di kampungnya memiliki Tattoo bermotif tradisional khas Dayak. ”Sekarang tidak ada lagi yang minta diTattoo modern seperti gambar tengkorak atau gambar modern lainnya,” katanya.

Empat motif utama yang disukai adalah motif asoe (anjing), naga, irap aran, dan anyam darli (tali beranyam). Selain tiga motif itu, masih ada ratusan motif khas Dayak yang hanya dihafal Laurensius dalam kepala dan tidak pernah didokumentasikan dalam bentuk gambar cetakan.
Selama menekuni Tattoo Dayak, Laurensius memiliki banyak korespondensi dengan para ahli Tattoo dari belasan negara. ”Orang luar Indonesia sekarang juga mengejar Tattoo ini, saya punya banyak kenalan di luar negeri dan setiap bertemu mereka ingin diTattoo khas Dayak,” katanya.

Kepala Adat Kampung Long Bagun Ilir Yosep Lie Aran mengatakan, dulu Tattoo dibuat dari jelaga asap hitam damar yang dibakar. Jelaga itu dicampur dengan sari daun terong pipit. Karena itu, secara filosofis Tattoo bagi orang Dayak Aoheng (orang Kalteng menyebutnya sebagai Dayak Penihing) merupakan lentera atau lampu penerang menuju surga layaknya damar yang digunakan zaman dulu untuk penerang kegelapan. ”Jadi Tattoo bagi kami bagian dari spiritual dan tidak ada maksud untuk menjadi jagoan seperti yang dicitrakan selama ini,” kata Laurensius prihatin dengan citra Tattoo yang diidentikkan dengan kekerasan.

Tattoo Dayak memiliki simbol-simbol sakral yang secara sosial kemasyarakatan bisa menjadi penanda dari status seseorang. Karena kesakralan Tattoo Dayak tersebut, pembuat Tattoo Laurensius kini hanya mau melayani pembuatan Tattoo untuk warga Dayak. ”Orang luar Dayak bisa saja saya Tattoo, tapi saya harus tahu betul bahwa orang tersebut tidak akan menyalahgunakan Tattoo untuk gagah-gagahan,” kata Laurensius.

Antropolog dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis Marko Mahin dan antropolog dari Universitas Lambung Mangkurat Setia Budhi menilai kebangkitan Tattoo di kalangan muda merupakan fenomena menarik.

Sumber : www.kompas.com

Gambar Cadas, Naluri Yang Mendunia

Ada yang dibuat dengan sangat teliti, ada pula yang sangat sederhana. Ada yang berwarna warni, namun ada pula yang dominan dengan satu dua warna. Secara umum, gambar cadas yang dibuat manusia purba di dinding-dinding gua dapat berupa gambar outline atau bergaris, berbentuk sosok, atau menggambarkan seluruh bagian benda yang digambar secara lengkap.

Gambar cadas sebagai bagian dari rock art hampir ditemukan di berbagai kebudayaan purba, dari Eropa, Asia, hingga Australia. Masing-masing wilayah biasanya memiliki kekhasan sendiri. Di Eropa, gambar hewan sering digambar dengan warna-warni indah dan besar, tapi di Afrika Selatan digambar dengan ukuran yang kecil meskipun detail. "Bahkan di Australia ada yang mengambarkannya dengan gaya sinar-X, di mana anggota badan bagian dalam juga turut digambar," kata Karina Arifin, peneliti arkeologi dari Universitas Indonesia, pada Rock Art Exhibition yang diadakan oleh Majalah National Geographic di Plaza Semanggi, Sabtu (21/1).

Di Indonesia, gambar cadas banyak ditemukan di wilayah Indonesia timur, dari Papua, Kepulauan Aru, Seram, NTT, Sulawesi, dan baru-baru ini di Kalimantan. Sulit membayangkan apakah mereka saling berkomunikasi sehingga memiliki intuisi untuk menorehkan gambar.

Apakah ini sebuah naluri manusia yang mendunia? Menurut Pindi Setiawan, peneliti seni rupa dari ITB, gambar cadas merupakan rekaman buah pikiran manusia tentang kehidupannya saat itu sehingga berfungsi sosial dan bertafsir adat. Gambar-gambar tersebut tidak dibuat asal jadi, namun mengikuti pola tertentu.

Peneliti Perancis telah menganalisis bahwa warna gelap umumnya dipakai untuk membuat cap tangan seorang wanita, sedangkan cap tangan laki-laki menggunakan warna lebih terang. Mereka melihatnya dari perbedaan panjang jari manis dan telunjuk - wanita memiliki panjang jari telunjuk sama dengan jari manis, sedangkan pria memiliki jari manis lebih panjang.

Hampir di setiap situs gambar cadas di dunia ditemukan cap tangan. Cap tangan terbanyak sekitar 350 buah ditemukan di Gua Ham, kalimantan. Salah satu deretan cap tangan di sana juga memiliki keunikan. Sebab, di bagian dalamnya digambarkan titik, garis, dan simbol yang saling dihubungkan dengan garis. Kemungkinan gambar-gambar cadas ini menggambarkan budaya masyarakat saat itu. "Jika budayanya zamani, berarti ada musik, tarian, atau aktifitas lainnya," kata Pindi yang juga anggota tim peneliti Kalimanthrope. Meskipun di kalimantan belum ditemukan berbagai artefak pendukug, pada gua-gua di Eropa ditemukan seruling.
Pada dinding gua di Teluk berau dan Teluk Bitsari, Papua, misalnya, ditemukan gambar bumerang, senjata asli suku Aborigin. "Mungkin saja penduduk Australia purba telah menyeberang ke Papua 10 ribu tahun lalu, sebab kedua wilayah disatukan oleh Dataran Sahul," kata Karina.

Meskipun belum dapat dipastikan secara ilmiah, pengukuran umur pewarna yang dipakai sedikit banyak dapat menjadi petunjuk mengetahui penyebaran manusia purba. Menurut Karina, saat ini baru peta persebaran yang tersedia ---belum semua tempat berhasil diidentifikasi---, namun pengukuran umur belum dilakukan sehingga arah penyebarannya belum diketahui.

Pewarna purba
Gambar cadas memang masih penuh misteri. Menyimak dan menelitinya memang menarik dan masih membutuhkan penelitian yang panjang. Tapi, yang lebih menarik, manusia purba telah paham untuk memakai pewarna yang relatif sangat tahan lama sehingga dapat bertahan selama puluhan ribu tahun.

Belakangan diketahui bahwa pewarna merah dari hematit (besi oksida) yang banyak dipakai penduduk purba merupakan sumber warna paling kuat. Menurut Dougal Dizon, hematit adalah jenis batuan yang terdapat dalam batuan kapur dengan kekerasan 5,5 hingga 6,5 dan grafitasi 4,9 hingga 5,3.

Hal inilah yang membangkitkan minat Achmad Sopandi, peneliti pewarna purba dari Universitas Negeri Jakarta untuk membuat Eco-color Sopandi. Produk pewarna ramah lingkungan yang meniru ramuan purba tersebut seluruhnya menggunakan sumber bahan baku alami. Pewarna merah tidak harus dari batu hematit. Bisa digunakan tanah merah atau pewarna apapun yang mengandung besi dicampur lemak hewan atau tumbuhan. Untuk pewarna hitam, digunakan arang kelapa dicampur air kelapa, warna putih digunakan santan dicampur kapur sirih. Membuat goresan pun tak perlu kuas buatan pabrik, cukup batang bambu yang ujungnya ditumbuk. Nilai artistik dari jaman prasejarah telah dihadirkan kembali olehnya menghiasi dinding-dinding di Saga City, Jepang. Hasil goresannya juga dipajang di Hospital Perak, Malaysia dan sedang diteliti oleh para ahli kesehatan jiwa sebagai bentuk terapi.

"Kata para dokter di sana, hampir setiap hari ada penderita penyakit jiwa yang datang untuk mengamatinya," kata Sopandi. Jika penelitian tersebut berhasil, benarlah bahwa warna adalah salah satu sarana pengobatan sejak jaman purba.

Selain itu, pewarna purba memang dipilih karena memiliki taksu, memiliki daya hidup, magis, dan karismatik. Bukan tidak mungkin, pewarna alami yang dulu hadir pada dinding-dinding gua juga hadir di sekitar lingkungan Anda.
(Sumber:Kompas Cyber Media)

Wednesday, August 29, 2007

Di antara Ancient dan Future

Ada pepatah "biarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu." Tapi nanti dulu, tidak semua masa lalu harus dikubur begitu saja. Banyak peristiwa-peristiwa masa lalu yang memiliki relevansi dengan masa kini, terutama jika dikaitkan dengan sejarah. Apa yang terjadi di masa lampau dalam kehidupan manusia, ternyata memiliki benang merah dengan kekinian. Bisa jadi, tidak semua orang menyadari itu. Untuk itu, Ancient Future, sebuah event bersama Dinas Purbakala dan Republic of Entertainment, mencoba membongkar ingatan tentang itu.

Ancient Future dikemas untuk memberikan pemahaman, khususnya untuk generasi muda, tentang sesuatu yang bersifat "future" yang ternyata berakar dari sesuatu yang bersifat "ancient". Hanya saja, memiliki pergeseran dari segi nilai, fungsi, dan bentuk. Banyak hal yang bisa dijadikan contoh, misalnya, kebiasaan masyarakat jaman dahulu dalam mengolah makanan. Ketika masyarakat jaman dahulu biasa memasak makanan dengan cara dibakar, maka masyarakat kini pun masih melakukan kebiasaan itu, yang lebih populer di negeri Paman Sam dengan istilah "barbeque."

Contoh lain dari segi fashion. Manusia "ancient" dulu menggunakan baju berbahan kulit binatang atau serat-serat tumbuhan. Sekarang, masyarakat masih menjadikan kulit binatang sebagai bahan dasar dalam industri mode. Bukan hanya pakaian, tapi juga tas, sepat, dompet hingga ikat pinggang. Untuk aksesorisnya, ada manik-manik yang ternyata sudah dipergunakan oleh manusia "ancient" dan hingga sekarang pun masih digemari.

Bukan cuma itu, masih banyak hal yang bisa dijadikan perbandingan antara masa lampau dan masa kini, "ancient" dan "future". Maka, Ancient Future akan mencoba membuka wacana itu untuk dijadikan bahan pemikiran bersama. Dengan maksud, untuk mengingatkan masyarakat, khususnya generasi muda, bahwa apa yang terjadi di masa kini adalah hasil dari setiap perubahan dari masa sebelumnya, mungkin dari masa pra sejarah, masa sejarah, hingga masa beberapa tahun yang lalu.

"Setiap hal pasti berubah, kecuali perubahan itu sendiri". Memaknai perubahan itulah yang menjadi persoalan penting. Maka, Ancient Future mencoba memberikan gambaran jejak-jejak perjalanan manusia dalam peradabannya dari waktu ke waktu sehingga akhirnya pelakon terakhir yaitu manusia saat ini, bisa memaknai kehidupan dengan lebih bijaksana.

Friday, May 11, 2007

Rock Art vs Graffity



Pernah melihat Graffity? Itu tuh corat-coret di dinding atau tembok. Terkadang aktivitas corat-coret ini membikin pusing pemerintah, pasalnya corat-coret tersebut menjadikan kota terlihat kotor. Jika berjalan-jalan di kota Bandung ataupun kota-kota lainnya, dengan mudah kita menemui graffity di pilar jembatan, halte bahkan pada tembok atau dinding.

Ternyata kegiatan mencorat-coret dinding sudah dimulai sejak ribuan bahkan jutaan tahun lalu. Nenek moyang kita atau yang biasa disebut manusia purbakala telah akrab dengan apa yang sekarang kita sebut Rock Art alias lukisan di cadas atau gua. Biasanya Rock Art bergambar orang dan binatang buruan.

Rock Art saat ini menjadi bagian dari peninggalan purbakala yang keberadaannya dilindungi. Di Indonesia Rock Art dapat ditemui di gua-gua purbakala di Kalimantan dan mungkin juga di daerah-daerah lain.

Kebiasan corat-coret alias graffity saat ini berkembang cukup pesat, jika dulu sekadar corat-coret sekarang dianggap sebagai urban art, sehingga saat ini kita bisa menyaksikan graffity yang indah.

Ternyata, kebiasaan kita di masa kini mempunyai kaitan erat dengan masa lalu. Jadi siapa bilang purbakala hanya berurusan dengan masa lalu?

Anda yang ingin mengetahui lebih jauh apa itu Rock Art bisa mengunjungi situs-situs di internet. Salah satunya yang cukup menarik adalah: www. rockart.org.

Acara Menarik di West Java Ancient Future

Ancient Future yang menampilkan keunikan dan kekayaan situs-situs purbakala di Jawa Barat akan digelar di Bandung, rencananya awal November 2007. Event unik akan disemarakkan dengan berbagai acara menarik dan lomba, yang dapat diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.

Tidak sebagaimana umumnya pameran ke purbakalaan Ancient Future (AF) justru akan ditampilkan dalam kemasan masa kini dan digelar di Cihampelas Walk (Ciwalk). AF akan memperlihatkan bahwa masa lalu atau zaman purba ternyata memiliki kaitan erat dengan kekinian.

Acara ini dimeriahkan oleh pameran kepurbakalaan, workshop, festival makanan, serta acara-acara menarik lainnya. Hal yang menarik dari acara ini adalah ditampilkannya seni kriya, musik dan fashion yang diilhami dari jaman purbakala. Menurut rencana AF digelar selama seminggu.

Sebelum tiba pada event, akan diselenggarakan pre event yang menyajikan happening art. Sedangkan bagi yang mengetahui lebih lanjut mengenai kepurbakalaan Jawa Barat akan diselenggarakan napak tilas atau kunjungan ke Situs Purbakala Gunung Padang di Kabupaten Cianjur.

Melestarikan Nilai-nilai Kepurbakalaan

Mendengar kata "purbakala" terbayang sesuatu yang serba kuno dan tidak menarik. Padahal kepurbakalaan hidup berdampingan dengan kemodernan. Lebih dari itu, penggalian nilai-nilai kepurbakalaan bisa menjadi inspirasi bagi keseharian kita sekarang. Ambil contoh bagaimana Steven Spielberg, memperoleh keuntungan dan ketenaran karena menggali sisi-sisi unik dari kepurbakalaan, melalui film-filmnya, seperti Jurassic Park. Contoh lain yang masih baru adalah film "A Night A Museum". Contoh-contoh lain, ketenaran film Flint Stone, Ice Age, Dinosaurs, dan sebagainya.

Penerusan nilai-nilai kepurbakalaan secara tidak sadar mungkin pernah kita lakukan, sebut saja misalnya dengan seni Grafitty. Graffity adalah kelanjutan dari kebiasaan manusia purba untuk melukis di dinding gua atau yang dikalangan arkelog disebut sebagai Rock Art.

Indonesia dan Jawa Barat sesungguhnya memiliki banyak situs purbakala yang apabila digali nilai-nilai yang dikandungnya serta dijadikan inspirasi untuk menapaki masa depan, pastilah akan lebih bernilai. Masa lalu memang tidak hanya bisa dikenang, tetapi sesungguhnya bisa menjadi inspirasi masa kini dan masa depan.

Penggalian nilai-nilai itulah, yang hendak disosialisasikan dalam West Java Ancient Future.